Jumat, 20 November 2009

Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari)

Malari
Peristiwa Malari di Senen Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin Soetopo Juwono digantikan oleh Yoga Sugama.

Moertopo dan Peristiwa Malari
Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari [1].

Catatan kaki
Pernyataan ini diliput di situs web Swaramuslim [1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Malari
Mengenang Malari 15 Januari 1974

Oleh H.Rosihan Anwar
HARI ini tanggal 15 Januari, 32 tahun yang silam, terjadi Peristiwa Malari (Malapetaka Januari) yang dilukiskan oleh sejarawan Australia M.C. Ricklefs sebagai "salah satu huru-hara paling buruk di ibu kota sejak jatuhnya Soekarno".

Peristiwa yang dipicu oleh kunjungan resmi Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, didahului oleh aksi demonstrasi mahasiswa terhadap dominasi ekonomi Jepang di negeri ini dan kecaman-kecaman ke alamat Asisten Pribadi (Aspri) Ali Murtopo dan Sudjono Humardani, menimbulkan korban 11 orang tewas, 200 luka berat dan lebih dari 800 orang ditangkap oleh Kopkamtib (Komando Pemeliharaan Keamanan Ketertiban). Sebanyak 800 mobil, terutama buatan Jepang, 100 gedung dan rumah dibakar. Toko-toko yang menjual barang made in Japan dijarah.

Pasar Senen dibakar oleh gerombolan preman yang dipimpin oleh kaki tangan Ali Murtopo dalam upaya membendung aksi demo mahasiswa. Tokoh pemimpin mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Hariman Siregar dan dari Fakultas Ekonomi Sjahrir ditangkap, kemudian dihukum penjara. Begitu juga Prof. Sarbini Sumawinata dari UI dan Soebadio Sastrosatomo pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibubarkan oleh Presiden Soekarno tahun 1960 ditangkap, kemudian menyusul Pemred Indonesia Raya Mochtar Lubis.

Sejumlah surat kabar dilarang terbit buat selama-lamanya yaitu Abadi, Harian Kami, Indonesia Raya, Nusantara, dan Pedoman. Mendadak sontak posisi saya berubah dari pemimpin redaksi Pedoman menjadi penganggur. Saya tidak ditangkap seperti Mochtar Lubis, mungkin karena tahun 1973 saya bersama B.M. Diah, Jakob Oetama menjadi penerima Bintang Mahaputera dari Presiden Soeharto.

Pemerintah mengambil tindakan keras. Tanggal 17 Januari kerusuhan dipadamkan. Buat pertama kali alih-alih mengatakan bahwa kaum komunis (sisa-sisa PKI) yang bertanggung jawab atas huru-hara, pemerintah menyalahkan bekas PSI dan Masyumi sebagai dalang kerusuhan. Menjadikan PSI sebagai kambing hitam segala kesusahan adalah pekerjaan Ali Murtopo. Pada waktu itu hubungan saya dengan Ali Murtopo normal dan zakelijk (lugas). Tapi kalau dia datang pribadi ke rumah saya untuk berdiskusi saya perhatikan dalam arus pikirannya betapa pada hematnya PSI adalah the bad guy, bahkan the villain, artinya "orang jelek dan bandit" dalam perkembangan lakon.

Ini terjadi sebelum pecah Malari. Pada satu saat dalam percakapan saya interupsi "Pak Ali bicara tentang keburukan PSI. Apa Pak Ali lupa saya ini kan juga orang PSI?" Serta merta dijawabnya dengan berkilah: "Oh ya, tapi Pak Rosihan sudah kami evaluasi dan kami anggap bukan PSI". Dalam hati saya berpikir, ini contoh ngomong seenaknya, lidah tak bertulang.

Sebelum Malari, tatkala suasana politik tegang, mahasiswa mengancam akan turun ke jalan. Di Yogyakarta saya berjumpa dengan Hariman Siregar. Waktu bercakap-cakap saya kasih nasihat, supaya Hariman berhati-hati dengan para jenderal seperti Sumitro dan Ali Murtopo. Mereka itu sama saja. "Nanti kau dimakan oleh mereka yang sedang bentrokan".

Entah kenapa Antara menyiarkan keterangan tadi yang benarnya saya berikan kepada Hariman secara confidential, tidak untuk diumumkan kepada publik. Lalu tersiarlah berita mengenai konflik antara Jenderal Sumitro (Pangkopkamtib) dengan Mayjen Ali Murtopo (Aspri Presiden). Ketika Hariman Siregar dibawa ke sidang pengadilan negeri dalam berkas perkaranya tercantum berita Antara tadi sebagai ilustrasi pemanasan isu konflik intern tentara. Akan tetapi pengacara pembela Hariman yang pernah jadi pemred Abadi Suardi Tasrif mengatakan bahwa statement saya di Yogya dianggap tidak relevan dan karena itu tidak perlu didalami lebih jauh.

Bertahun-tahun kemudian waktu menghadiri tahlilan memperingati meninggalnya Brigjen Sunardi (Sekjen PWI) saya berjumpa dengan Sumitro yang sudah diberhentikan sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soeharto. Sumitro curhat dan menegaskan bahwa tidak ada bentrokan antara Sumitro dengan Ali Murtopo, sebagaimana saya katakan di Yogya. "Mana mungkin Pak Rosihan, saya ini jenderal empat bintang, sedangkan Ali berbintang dua. Dia turut perintah saya. Dan tidak ada konflik di antara kami berdua." Sumitro bercerita panjang lebar dan akhirnya berkata "Sudah lama saya ingin menyampaikannya kepada Pak Rosihan, dan kini saya puas".

Benarkah tidak ada konflik? Versi Ali Murtopo lain pula. Dia ceritakan kepada saya bahwa Sumitro dan dia dipanggil oleh Pak Harto di Jalan Cendana. Mereka membicarakan situasi. Selesai pertemuan Ali meminta pertanggungjawaban dan malah sampai menantang Sumitro berduel dengan senjata pistol untuk menyelesaikan perkara. Sumitro menolak. Omongnya saja keras, tapi hatinya kecil, ujar Ali.

Mana yang benar dari cerita tadi saya tidak bisa mengecek sampai sekarang. Seperti juga saya tidak bica mengecek keterangan seorang jenderal bahwa ketika demo mahasiswa sedang memuncak, situasi seperti tak bisa dikendalikan, maka Pak Harto di istana sendirian tampaknya kebengong-bengongan. Begitu pengalaman saya sekitar peristiwa Malari. Tanggal 17 Januari pagi hari dengan memakai helikopter PM Tanaka diterbangkan dari istana ke bandar udara untuk balik ke Jepang. Soeharto mengadakan rapat. Diputuskan Sumitro diberhentikan sebagai Pangkopkamtib, Ali Murtopo tidak lagi jadi Aspri, begitu juga Sudjono Humardani, para jenderal yang dekat dengan Sumitro seperti Sutopo Yuwono, Kharis Suhud, Sayidiman diberi kedudukan lain. Katakanlah juga tidak ada konflik intern di kalangan tentara? (PR)

Penulis, wartawan senior Indonesia.

Malari 1974 dan Sisi Gelap Sejarah

KEKERASAN di Indonesia hanya dapat dirasakan, tidak untuk diungkap tuntas. Berita di koran hanya mengungkap fakta yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal "Peristiwa Malari", tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan, suasana Kota Jakarta masih mencekam.

PERISTIWA Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.

Ada analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini, meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000), dapat disebut permainan "jenderal kalajengking" (scorpion general).

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto menghentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono "didubeskan", diganti Yoga Sugama.

Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.

Selanjutnya, ia amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria "pernah jadi ajudan Presiden". Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.

Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.

Malari sebagai wacana
Dalam buku Otobiografi Soeharto (terbit tahun 1989), kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung. Padahal, mengenai "petrus" (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang di situ.

Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak 1973. Yoga Sugama ada di New York saat kerusuhan 15 Januari 1974. Lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta, menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.

Menurut Yoga, ceramah dan demonstrasi di kampus-kampus mematangkan situasi, bermuara pada penentangan kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya, diskusi di UI Jakarta (13-16/8/1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan "Petisi 24 Oktober".

Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Dalam buku-buku Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Soemitro mengungkapkan, Ali Moertopo dan Soedjono Humardani "membina" orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering berulang pada era Orde Baru.

Dalam kasus Malari, lewat organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola-dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166).

Sebaliknya, "dokumen Ramadi" mengungkap rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus, "Ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh". Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Soedjono Humardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam "dokumen" itu tentu mengacu Jenderal Soemitro.

Keterangan Soemitro dan Ali Moertopo masing-masing berbeda, bahkan bertentangan. Mana yang benar, Soemitro atau Ali Moertopo?

Kita melihat pelaku kerusuhan di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa aktor intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan meninggal secara misterius dalam status tahanan.

Sebagian sejarah Orde Baru, termasuk peristiwa Malari 1974, memang masih gelap (Kom)

Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris.


sumber : Tempophoto
Lihat Galery : Peristiwa Malari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar