Rabu, 11 November 2009

NAPAK TILAS PERTEMPURAN AREK-AREK SUROBOYO

NAPAK TILAS
PERTEMPURAN AREK-AREK SUROBOYO

Peristiwa 10 Nopember 1945 di Kota Surabaya merupakan peristiwa besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia di dalam mempertahankan kemerdekaannya. Arek-arek Suroboyo yang terdiri dari berbagai suku, lapisan dan kedudukan secara gagah berani dan dengan semangat kepahlawanannya menentang setiap keinginan dari kaum penjajah yang akan kembali merampas kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia. Dengan semboyan "Merdeka atau Mati", dengan gagah berani, arek-arek Suroboyo dengan senjata apa adanya menghadapi kekuatan penjajah yang menggunakan senjata modern. Dengan semangat rela berkorban demi nusa dan bangsa, jiwa dan raga mereka dipertaruhkan untuk tegaknya kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai titik darah penghabisan.

Mengingat betapa tinggi nilai peristiwa bersejarah ini, tentunya sebagai wahana untuk mengenang kembali betapa besar jasa para pahlawan kita yang telah rela mengorbankan jiwa dan raganya, selain memperingatinya setiap tanggal 10 Nopember, juga dibangunnya Monumen Perjuangan TUGU PAHLAWAN, tidaklah berlebihan kalau tempat-tempat bersejarah dalam rangkaian peristiwa 10 Nopember tersebut dijadikan suatu paket wisata sejarah "NAPAK TILAS PERTEMPURAN AREK-AREK SUROBOYO". Sekitar Jembatan Merah (Gedung Internatio), sekitar Tugu Pahlawan (Markas Kentepai Jepang / Gedung Raad Van Justitie) dan Hotel Mandarin Majapahit ( Hotel Orange / Hoteru Yamato ).

Peristiwa Hotel Oranye - Surabaya - 19 Sept 1945 Pada hari RABU WAGE tanggal 19 September 1945 pada saat kelompok orang-orang Sekutu / Belanda yang tergabung dalam Mastiff Carbolic merupakan salah satu organisasi Anglo Dutch Country Saction (ADCS) yang bergerak di bidang spionase dengan kedok Petugas / Organisasi Palang Merah Internasional beroperasi di Surabaya dan mengunjungi Markas Besar Tentara Jepang yang berkedudukan di Surabaya. Maka pada saat yang sama ada beberapa orang Belanda yang tergabung dalam Komite Kontak Sosial mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) pada tiang bendera sebelah kanan (Utara) Gapura Hotel Yamato (Orange / Mojopahit sekarang). Sehingga dinilai oleh para pejuang dan Arek-arek Suroboyo tindakan orang-orang Belanda tersebut sangat congkak dan tidak simpatik karena merupakan lambang akan ditegakkannya kembali kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda di Bumi Surabaya. Kemudian Resimen SUDIRMAN dengan mengendarai Mobil Sedan Hitam mendatangi Hotel Orange dan memerintahkan dengan tegas kepada Komite Perwakilan Sekutu untuk segera menurunkan bendera Belanda tersebut. Tetapi justru perintah Residen Sudirman tidak diindahkan sama sekali oleh orang-orang Sekutu/Belanda yang berada di Hotel Orange, bahkan Residen Sudirman yangdalam kedudukannya sebagai Pejabat dan Wakil Pemerintah Indonesia malahan ditodong dengan pistol Revolver oleh seorang pemuda Belanda pada waktu itu. Sehingga memicu perkelahian massal yang tidak seimbang antara 20 orang sekutu/Belanda berhadapan dengan massa - rakyat / Pemuda Surabaya yang berasal dari Genteng, Embong Malang, Praban dan sekitarnya.

Akhirnya beberapa orang pemuda berhasil mendekati dan memanjat dinding serta puncak Gapura Hotel, berhasil menurunkan bendera Belanda dan menyobek bagian birunya serta menaikkan kembali bendera Merah-Putih dengan ukuran yang tidak seimbang dengan diiringi pekikan "MERDEKA", "MERDEKA", "MERDEKA", yang disambut dengan gempita oleh massa Rakyat yang berkerumun di bawah tiang bendera dan berada di depan Hotel Orange.

Tercatat dalam insiden penyobekan bendera Belanda di Hotel Orange tersebut telah gugur sebagai Kusuma Bangsa 4 (empat) orang Pemuda / Arek Suroboyo yaitu Sdr. SIDIK, Sdr. MULYADI, Sdr. HARIONO dan Sdr. MULYONO. Sedangkan dari pihak Warga Belanda Mr. Ploegman tewas terbunuh oleh amukan massa ditusuk senjata tajam.

Insiden Bendera 19 September 1945 di Hotel YAMATO / Hotel ORANGE (sekarang Hotel Mandarin Oriental MAJAPAHIT) Surabaya. Rakyat Surabaya marah dengan adanya bendera merah putih biru berkibar di atas menara hotel. Dan terjadilah aksi perobekan bendera warna biru, hingga menjadi merah dan putih.
(Sumber: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950, Perpustakaan DHD 45 Propinsi Jatim)

Peristiwa "Incident Surabaya"

Pada tanggal 30 Oktober 1945 diadakan pertemuan antara Presiden Sukarno, Wapres Moh. Hatta, Menpen Amir Syarifuddin, Gubernur Soerjo, residen Soedirman dengan Mayjen D.C. Hawthorn, pimpinan tentara Sekutu di Jakarta. Sebagai salah satu hasil pertemuan itu dibentuk suatu Kontak Komisi, yang diharapkan dapat memudahkan hubungan kedua belah pihak.Disetujui pula agar tembak-menembak oleh kedua belah pihak dihentikan.

Suasana setelah penghentian tembak menembak yang disepakati para pemimpin Pemerintah Republik Indonesia dengan tentara Sekutu. Pada foto tampak Brigadir Jenderal Mallaby dan Dr. Soegiri sedang berkeliling kota memberitahukan adanya penghentian tembak menembak.
(Sumber: Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949, Perpustakaan DHD 45 Propinsi Jatim)

Namun dalam kenyataannya, tembak-menembak berlangsung terus. Akhirnya diputuskan para anggota kontak Komisi turun ke lapangan. antara lain yang dikunjungi daerah Jembatan Merah. Disitu terletak gedung Internatio, yang merupakan markas Pasukan Komandan Brigade ke-49 Inggris, yang bertugas di Surabaya. Di seberangnya, para pejuang Arek-arek Suroboyo berada di sekitar Jembatan Merah.

Tembak-menembak sering terjadi antara kedua tempat itu. Pada tanggal 30 Oktober 1945, dengan berkendaraan beberapa mobil para anggota Kontak Komisi berusaha menuju gedung Internatio, yang dituntut oleh arek Suroboyo agar dikosongkan oleh tentara Sekutu yang menurut persetujuan harus ditarik mundur ke Tanjung Perak. Di antara para anggota Komisi itu terdapat Residen Soedirman, Doel Arnowo, T.D. Kundan, Brigjen Mallaby. Hari sudah mulai gelap ketika rombongan itu melalui tempat perhentian trem listrik, yang terletak beberapa belas meter sebelah utara Jembatan Merah ke arah gedung Internatio.

Tewasnya Birg.Jendral Mallaby
Di situlah mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby terdengar mengalami ledakan sekitar jam 20.30. Ia kemudian ditemukan tewas.

Rongsokan mobil Mallaby

Pertempuran Surabaya/Battle of Surabaya
Tewasnya Brigjen Mallaby itulah yang menjadi salah satu alasan bagi penggantinya sebagai panglima tentara Sekutu di Jawa Timur, Mayjen E.C. Mansergh, untuk mengeluarkan ultimatum pada tanggal 9 November 1945 agar pihak Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00 tanggal 10 November 1945.

Ultimatum itu ditolak oleh pihak Indonesia dan pada pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945 tentara Inggris mulai menggempur kota Surabaya dari kapal perang, psawat udara, serta pasukannya yang bergerak dari Tanjung Perak menuju tengah kota. Para pejuang Indonesia mengambil siasat mengundurkan diri dari dalam kota Surabaya dan meneruskan perjuangan dari luar kota.


Peristiwa 10 November 1945
Pidato Bung Tomo
Bala bantuan pemuda-pemuda luar kota terus datang menggunakan alat transportasi kereta api. Mereka ikut berjuang mempertahankan Tanah Air tercinta dari serangan tentara Sekutu. Para pemuda di Surabaya bersiap-siap menuju medan pertempuran untuk mempertahankan Tanah Air tercinta dari tangan penjajah.
Senjata rakyat berbicara. Meriam penangkis udara, senjata-senjata peninggalan Jepang atau hasil rampasan, senjata-senjata mesin, golok, bambu runcing digunakan untuk melawan Sekutu. Para Narapidana rumah penjara Kalisosok tidak mau ketinggalan terjun dalam perjuangan. Tampak mereka berbaris dengan memanggul takeyari (bambu runcing) di tengah Kota Surabaya.
Laskar Rakyat juga turut serta melakukan perlawanan terhadap pasukan sekutu Pada 10 Nopember 1945 mulai pukul 06.00 WIB pertempuran besar-besaran dan dasyat berkobar di Surabaya. Rakyat Surabaya tidak mau menyerahkan sejengkal tanahnya pun kepada Sekutu. TKR, pemuda, buruh, dan semua lapisan masyarakat ikut berjuang. Hanya wanita, orang tua dan anak-anak yang tampak mengungsi.
Jembatan Merah Lokasi Tewasnya General Mallaby the-red-bridge-12the-red-bridge-01the-red-bridge-17the-red-bridge-21the-red-bridge-18the-red-bridge-10
Diaroma "Battle of Surabaya
Sekutu +plus Gurkha
Gedung Grahadi Gedung Negara dibangun pada tahun 1795, waktu itu penguasa tunggal (Gezaghebber) Belanda Dirk Van Hogendorp (1794-1798) beranggapan bahwa tempat kediaman resminya di kota bawah dekat Jembatan Merah kurang sesuai dengna kedudukannya. Ia memilih sebidang lahan di tepi Kalimas untuk membangun sebuah rumah taman yang lebih representatif. Tanah di jalan Pemuda yang dulu bernama Simpang, milik seorang Cina yang mula-mula segan menyerahkannya kepada Van Hogendorp. Namun menurut cerita ia akhirnya berhasil dipaksa secar halus dengan pernyataan bahwa tanah itu akan "disimpan" baginya. Menurut cerita, pemiliknya hanya diberi uang ganti rugi segobang (2.5 sen). Dari kata "disimpan" tadi lahirlah kata SIMPANG. Van Hogendorp membangun gedung itu dengna biaya 14.000 ringgit. Namun ia menikmati tempat kediaman itu hanya sekitar tiga tahun saja.

Selama ia memangku jabatannya, banyak keluhan disampaikan kepada Pemerintah Pusat Hindia Belanda di Batavia (Jakarta), antara lain ia dituduh menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Itulah sebabnya ketika diadakan resepsi tahun baru pada tanggal 1 Januari 1789, ia ditangkap dan dikirim ke Batavia. Gubernur Jenderal Inggris, Daendels, yang terkenal dengna sebutan Toean Besar Goentoer memperbaiki Gedung Grahadi itu. Ia ingin menjdaikan gedung itu sebagai suatu istana.

Disamping itu, juga dibangun sebuah jembatan di atas Kalimas yang kini mengalir di belakang gedung tersebut. Pada mulanya gedung itu memang menghadap ke Kalimas, sehingga pada sore hari penghuninya sambil minum-minum teh dapat melihat perahu-perahu yang menelusuri kali tersebut. Perahu-perahu itu juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, mereka datang dan pergi dengna naik perahu menelusuri Kalimas.

Dalam perkembangan berikutnya Gedung yang megah itu dipakai juga untuk tempat bersidang Raad Van Justitie (Pengadilan Tinggi), juga dipakai untuk pesta, resepsi dengna berdansa, dan lain-lain. Pada tahun 1802, gedung Grahadi yang semula menghadap ke Utara, diubah letaknya menjadi menghadap ke Selatan seperti sekarang ini. Di seberangnya ada taman yang bernama Kroesen (Taman Simpang), yang diambil dari nama Residen J.C. Th. Kroesen (1888-1896). Di belakang taman itu ada patung Jokodolok yang berasal dari kerajaan Majapahit yang sekarang juga masih berdiri kokoh. Diantara peninggalan dari zaman Belanda terdapat meja tulis yang kini dipakai oleh Gubernur Jawa Timur di ruang kerjanya. Gubernur Belanda yang terakhir mendiami gedung Grahadi ialah : CH. Hartevelt (1941-1942).

Sejak Indonesia merdeka, Gubernur Jawa Timur pertama yang bertempat tinggal di Grahadi ialah R.T. Soerjo (1946-1948) yang patungnya kini nampak di seberang jalan Gedung tersebut. Sejak Gubernur Samadikoen (1945-1957) sampai sekarang gedung ini dijadikan gedung negara untuk menerima tamu, resepsi serta pertemuan-pertemuan lain, sedangkan Gubernur sendiri bertempat tinggal di kediaman lain di dalam kota Surabaya.

Balaikota

Surabaya sebagai Resort Gemeonte (Haminte) secar resmi mulai berdiri pada tanggal 1 April 1906, sebelum-nya Surabaya merupakan bagian dari karesidenan Pemerintah Haminte dijalankan oleh Dewan Haminte yang diketuai oleh asisten residen sebagai Kepala Daerah.

Tahun 1916 diangkat Walikota Surabaya pertama, A. Meyroos yang bertugas sampai 1921, setelah Walikota yang kedua oleh G.J. DIJKERMAN rencana membangun gedung Balai Kota diwujudkan.

Gedung utama Balai Kota di Taman Surya, ketabang itu selesai dibangun pada tahun 1923 dan ditempati tahun1927. Arsiteknya ialah C. Citroen dan pelaksanaannya H.V. Hollandshe Beton Mij. biaya seluruhnya, termasuk perlengkapan lainnya menghabiskan 1000 gulden. Ukuran gedung utama : panjang 102 m dan lebar 19 m, konstruksinya terdiri dari tiang-tiang pancang beton bertulang yang ditanam, sedangkan dinding-dindingnya diisi dengan bata dan semen, atapnya trbuat dari rangka besi dan ditutup dengna sirap tetapi kemudian diganti dengan genteng. Setelah Republik Indonesia diproklamirkan, dilantik Radjamin Nasution sebagai Walikota Kota Besar Surabaya, berdasarkan Penpres 1959 No. 16 maka ditetapkan Walikota juga menjadi Kepala Daerah. Tahun 1965 Kotapraja Surabaya resmi menjadi Kotamadya.

Gedung Balai Pemuda GEDUNG BALAI PEMUDA, ini dahulu bernama SIMPANGSCHE SOCIETE IT yang dipakai klub oleh orang kulit putih untuk berdansa sedangkan bagi orang pribumi dilarang masuk. Pada bulan November 1945 Gedung ini dijadikan Markas Besar PRI (Pemuda Republik Indonesia) Pusat. Organisasi pemuda ini sering bertindak ekstrim, dan banyak orang Indonesia atau Belanda dituduh mata-mata diinterogasi oleh Bagian Penyelidik PRI di gedung ini.
Gedung Nasional Indonesia GEDUNG NASIONAL INDONESIA, sejak berdirinya pada zaman Belanda, menjadi Pusat Pergerakan Nasional, 25-27 Agustus 1945 di gedung ini dibentuk Komisi Nasional Indonesia dan BKR. pada tanggal 21 September 1945 gedung ini digunakan mempersiapkan rapat samodra bersejarah untuk menentang larangan Kenpetai. Disini terdapat makam Dr. Soetomo pendiri perkumpulan Budi Uomo bersama Dr. Wahidin Sudirohusodo. Atas jasanya beliau dianunegrahi sebagai Pahlawan kemerdekaan Nasional Indonesia.
Gedung PTP XII GEDUNG PTP XXII, dahulu gedung ini adalah Gedung HVA (Handels Vereeniging Amsterdam) Comidiestraat. Tanggal 1 Oktober 1945 gedung ini dijadikan sebagai Markas Angkaan Darat Jepang di Jawa Timur di bawah pimpinan Jend. IWABE. Setelah gedung ini dikepung oleh pejuang-pejuang Indonesia Drg. Mustopo menggertak Jend. IWABE (Komandan Tentara Jepang) untuk menyerahkan kekuasaannya. Akhirnya dijadikan markas BKR Jawa Timur dibawah Drg. Mustopo yang merangkap sebagai "Menteri Pertahanan Adinterim" RI sampai tanggal 30 Oktober 1945.
Gedung Don Bosco GEDUNG DON BOSCO, dahulu adalah Gudang Senjata Jepang terbesar di Surabaya. Pada 1 Oktober 1945 gedung Arsenal di bawah pimpinan Mayor Harimoto ini diserbu dan direbut oleh rakyat Surabaya. Senjata itu dibagi-bagikan kepada rakyat dan sebagian oleh Bung Tomo dikirim ke Jakarta. Cara pengmbil alihan senjatadi Don Bosco kemudian dijadikan model dalam pengambil alihan obyek kekuasaan Jepang lainnya di seluruh Jawa Timur. Gedung Don Bosco kemudian dijadikan Markas Genie Pelajar (TGP) dibawah pimpinan Hasanuddin Pasopati.
Gedung PTP XII GEDUNG PERTAMINA, sejak tanggal 25 Oktober 1945 diduduki oleh pasukan Sekutu di bawah pimpinan Kolonel Pugh. Dari gedung inilah Kolonel Pugh menginstrusikan kepada pasukannya agar merampasi senjata pejuang Surabaya dan kendaraan yang ada di kota Surabaya. Akibat instruksi tersebut menimbulkan amarah pejuang Arek-arek Surabaya yang berakhir dengan tewasnya Brig. Jenderal Mallaby dalam kancah pertempuran di sekitar Jembatan Merah Surabaya.
Gedung Bang Dagang Negara GEDUNG BANK DAGANG NEGARA, ini dahulu adalah milik perusahaan dagang Belanda LINDETEVES. Sewaktu pemerintahan Jepang gedung yang terkenal dengan nama KIHATAMA BUTAI ini digunakan sebagai bengkel untuk memperbaiki, menyimpan senjata berat dan kendaraan perang antara lain tank. Gedung ini terkenal dengan nama gedung Glinding Tipis. Dalam pertempuran tahun 1945 gedung ini berhasil direbut pejuang-pejuang Indonesia sehingga pejuang-pejuang tersebut memiliki/memperoleh banyak senjata dan kendaraan untuk berperang.
Gedung Siola GEDUNG SIOLA, gedung ini dahulu bernama WHITE LAIDLAW.

Dari atas gedung inilah dahulu para pejuang Surabaya menahan serangan Sekutu yang datang dari Utara.

Akibat pertempuran sengit antara pejuang Indonesia dengna pasukan Sekutu, maka pada tanggal 10 November 1945 gedung telah terbakar habis, dibumi hanguskan oleh pejuang-pejuang Surabaya.
Gedung Santa Maria GEDUNG SANTA MARIA, gedung ini dahulu adalah Gedung Sekolah Menengah Tinggi dan gedung ini adalah tempat pembentukan BKR Pelajar dibawah pimpinan MAW ISMAN. Pada perkembangan selanjutnya BKR Pelajar menjadi TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Gedung ini disamping pernah dipakai sebagai Pusat Interniran RAPWI / orang kulit putih, juga pernah digunakan sebagai Markas Kompi - 71 dari Resimen -3 Artileri Medan (ARMED) dan Kompi Ambulance Lapangan Tentara Sekutu yang dipimpin Kolonel L.H.O. PUGH sepeninggal tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby.
Rumah Sakit DARMO RUMAH SAKIT DARMO, ini dahulu dipakai Jepang sebagai Kamp Interniran Anak-anak dan Wanita. Setelah pasukan Sekutu datang ke Surabaya, kamp ini diambil alih oleh Let. Kol. Rendall.

Pada tanggal 27 Oktober 1945 gedung ini menjadi pusat pertahanan pasukan Brig. Jend. A.W.S. Mallaby dan di depan gedung inilah insiden pertama meletus antara pasukan A.W.S. Mallaby dengan pejuang Arek-arek Surabaya / Bangsa Indonesia.
Gedung PTP XII Dahulu benama St. Louis Coen Boulevard 7 Markas Polisi Istimewa di bawah pimpinan M. Yasin. pada tanggal 20 Agustus 1945, di markas Polisi Istimewa ini telah terjadi penurunan Bendera Jepang Hinomaru diganti dengan Bendera Indonesia yang Merah Putih.

Setelah peristiwa tersebut diteruskan dengan pengambil alihan persenjataan oleh anggota Polisi Istimewa dari tangan Jepang.
Sumber :
  1. http://www.suarasurabaya.net/v05/surabaya/index.php
  2. http://ahoy.tk-jk.net/Letters/ThosewhowentdownatBattleo.html
  3. http://www.petra.ac.id/eastjava/cities/sby/history/sejarah/wisata.htm
  4. http://www.kebudayaan-jatim.go.id/web/view_koleksi_sejarah_monumen_detail.php
  5. http://battleofsurabaya1945.blogspot.com/
  6. http://forum.kafegaul.com/archive/index.php/t-158609.html
  7. http://www.eastjava.com/tourism/surabaya/red-bridge/index.html
  8. http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah08.shtml

Tidak ada komentar:

Posting Komentar